Sebentar lagi bulan puasa. Seperti biasa setiap menjelang bulan puasa harga bahan kebutuhan pokok naik. Biaya atau ongkos angkutan umum juga naik. Bersamaan dengan itu, BBM jenis Pertamax sudah lebih dulu naik. Dan dalam beberapa tahun terakhir, puasa, hari raya Idul Fitri dan tahun ajaran baru susul-menyusul dalam rentang waktu berdekatan. Maka lengkaplah, situasi yang dihadapi warga masyarakat.
Tentu masyarakat ingin pemangku kekuasaan dan pemangku kepentingan setidaknya memikirkan lalu mencari jalan keluar. Bukan untuk menurunkan harga bahan kebutuhan pokok, karena hal itu nyaris tidak mungkin, tetapi membijaksanai dengan tidak menambah beban masyarakat. Taruh misalnya, penentu kebijakan tidak menaikkan harga elpiji dan Tarif Dasar Listrik dalam tempo yang sama. Bisa juga penentu kebjakan dengan otoritas yang dimilikinya mengendalikan arus dan distribusi barang serta bahan kebutuhan pokok agar tidak terjadi kelangkaan.
Sebab, kalau hukum pasar yang berlaku, maka setiap kebutuhan meningkat sementara pasokannya rendah, yang terjadi adalah membumbungnya harga. Begitu pula dengan peredaran beras, penentu kebijakan mesti melakukan sesuatu agar pasokan stabil. Soal cara, penentu kebijakan pasti jauh lebih pintar, termasuk dalam hal mengendus spekulan dan kemungkinan munculnya penimbunan barang.
Begitulah, fenomena kenaikan harga menjelang dan selama bulan puasa adalah sebuah keajegan, bahkan keniscayaan. Dari tahun ke tahun kejadiannya sama. Jadi, jauh-jauh hari fenomena itu sejatinya sudah bisa diduga dan dicarikan jalan keluarnya agar lonjakan harga tidak dipermainkan oleh orang-orang yang maunya hanya ambil untung sebanyak-banyaknya.
Pertanyaannya, sudahkah fenomena yang ajeg, bahkan sebuah keniscayaan itu sudah dipikirkan, diperhitungkan, lalu dirumuskan dan disusun skema serta skenarionya untuk sekurang-kurangnya menekan agar tidak kebablasan? Atau sebaliknya, penentu kebijakan, para elit atau petinggi di sini lebih tertarik dan sibuk menyongsong Pilkada yang tinggal beberapa bulan lagi?
(Aga)
(745 views)