Memaksimalkan Fungsi Hutan Sebagai Upaya Mengantisipasi Bencana Alam.

Hujan yang terus mengguyur jember, masih menimbulkan potensi bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor. Daerah dataran tinggi, terutama di kawasan pegunungan menjadi daerah paling rawan terjadi bencana alam. Jika tidak diantisipasi sedemikian rupa, seperti pengrusakan hutan, bukan tidak mungkin kasus banjir di daerah silo dan panti akan terjadi lagi. Terkait persoalan ini, bagaimana kondisi hutan di jember? Kemudian, bagaimana evaluasi perhutani terkait daerah rawan bencana? Lalu, bagaimana pendapat aktifis lingkungan, mengenai daerah rawan bencana alam?

Sejauh ini retakan-retakan tanah di kawasan hutan jember jumlahnya sangat minim. Hanya saja memang ada beberapa kawasan, seperti di daerah lampeji-mumbulsari, masih sangat rawan longsor. Hal ini disebabkan, masih adanya pembukaan lahan oleh masyarakat, untuk tanaman tumpangsari. Hal ini diungkapkan Administratur KPH Perhutani Jember, Taufik Setyadi.

Menurutnya, hampir seluruh kawasan hutan di jember, sudah tertutup hingga 60 sampai 70 persen dan resapan air maksimal. Sehingga masyarakat tidak perlu lagi, kawatir akan terjadi bencana alam.

Taufik menambahkan, khusus kawasan di lereng argopuro, pertumbuhan hutannya sangat signifikan. Itu lantaran, perhutani menyulap kawasan argopuro menjadi hutan produksi berupa kopi dan hutan lindung.

Memang lanjut Taufik, awalnya sempat terjadi perselisihan antaran pihaknya dengan masyarakat, namun setelah masyarakat paham, bawah akar kopi bisa menahan erosi dan ditindaklanjuti dengan kebijakan perhutani, mayoritas kawasan di daerah argopuro berubah menjadi hutan produksi kopi.

Sementara Koordinator LSM Forum Komunikasi Anak Bangsa (FKAB) Suharyono menjelaskan, hampir sebagian besar kawasan pegunungan di jember masih rawan bencana, sebab curah hujan hingga hari  ini masih sangat tinggi.

Suharyono menambahkan, hampir sebagian besar kawasan hutan di jember, sudah beralih fungi menjadi hutan produksi. Salah satunya pohon-pohon besar yang fungsinya sebagai penopang bencana alam, sudah tergantikan oleh tanaman produktif, seperti kopi dan kakau.

Semestinya lanjut Suharyono, jika memang dialihfungsikan menjadi hutan produksi, harus dilihat dari sudut kemiringan gunung. Dan yang paling penting, di daerah tersebut juga ditanami pohon besar, sebagai penopang dari tanaman kopi.

Lebih jauh Suharyono menjelaskan, sebenarnya akar kopi kurang kokoh untuk menahan arus erosi di kawasan gunung. Apalagi hal ini diperparah dengan penggunaan racun pembersih rumput atau biasa disebut ron up.

Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Komisi B DPRD Jember, Suroso Kastara mengatakan, sejauh ini memang beberapa wilayah, khususnya yang berada di daeah hulu sungai masih rawan bencana alam, baik longsor maupun banjir.

Komisi B Lanjut Suroso, beberapa waktu lalu telah mengusulkan kepada perhutani, untuk wilayah rawan bencana alam agar membuat sapu gunung. Maksudnya pihak perhutani membuat tanggul, yang nantinya akan mengarahkan aliran air hujan kepada aliran sungai.

Mengenai keberadaan tanaman kopi sebagai pengganti tanaman sebelumnya, suroso berpendapat, hal ini sah-sah saja, sebab, akar kopi juga sangat kuat untuk menahan arus erosi di daerah pegunungan.

(1.729 views)
Tag: